Pendidikan Bukan (cuma) Sekolah – Refleksi Hari Pendidikan Nasional
Pendidikan Bukan (cuma) Sekolah – Refleksi Hari Pendidikan Nasional
Ini hari tanggal 2 Mei biasa diperingati sebagai Hardiknas, Hari Pendidikan Nasional. Saat kita berbicara Pendidikan, karena itu yang tebersit di pikiran kita ialah sekolah. Lantas terpikir bangunan sekolah SD, SMP, SMA, SMK dan Perguruan Tinggi, beberapa guru dan kurikulum didalamnya. Seterusnya terpikir carut marutnya pendidikan kita saat ini dan pada akhirnya kita malas pikirkannya.
Bayang-bayang semacam itu pasti tidak salah. Karena kata hebat of mind dari pendidikan umumnya yang ada ialah kata sekolah. Tetapi memandang sekolah ialah pendidikan atau pendidikan cuma sekolah, itu salah besar. Sekolah ialah pendidikan resmi. Masih tetap ada pendidikan nonformal dan tidak resmi. Pendidikan nonformal seperti pelatihan-kursus atau sekolah tidak memiliki ijazah, tuntunan belajar dan lain-lain tidak akan saya ulas di sini. Saya ingin mengulas pendidikan tidak resmi, yang menurut saya adalah jatah penting pada dunia pendidikan kita saat ini, tetapi kerap terlewatkan.
Tipe pendidikan tidak resmi paling penting ialah pendidikan dalam keluarga. Ayah ialah kepala sekolah yang bertanggungjawab pada pendidikan keluarga. Karena, Allah telah memberikan peringatan untuk beberapa golongan ayah, “Wahai beberapa orang memiliki iman, jaga diri kamu dan keluargamu dari api neraka…” (QS at-Tahrim: 6). Ali bin Abi Thalib menerjemahkan ayat ini, “Jaga keluargamu dari api neraka maknanya addabahum wa allimhum. Didiklah mereka dengan adat (adab, santun sopan, etika, budi pekerti) dan ajarkanlah ilmu ke mereka.” Karena itu, pekerjaan mendidik anak yang khusus ialah orangtua, khususnya ayah. Bukan sekolah, bukan guru.
Jadi figur ayah pengajar di periode “lockdown” saat ini benar-benar berasa efektif. Kita dapat menyaksikan detail sikap beberapa anak kita, baik fisik, pengucapan atau kelakuannya. Saya juga baru mengetahui anak remaja saya jerawatan. Kita berhubungan 24 jam dengan mereka, membersamai mereka, mendidik dan cetak mereka jadi orang baik (a good man) sama seperti yang kita harapkan.
Saat shalat jemaah di dalam rumah, kita dapat jadi contoh sebagai seorang imam yang bagus, pergerakan atau bacaan shalatnya. Bila anak telah dewasa karena itu dapat giliran jadi imam. Selainnya pastikan pergerakan dan bacaan shalat mereka betul, kita bisa juga mengecek hafalan surat beberapa anak. Sesudah shalat kita dapat selenggarakan kultum dengan -misal membaca salah satunya kitab hadits atau tazkiyatun nafs. Di sana kita dapat mengajari, memberikan nilai (value), arahkan bahkan juga sampai mengindoktrinasi ke anak. Dan saat di luar jam shalat kita praktikkan terus ada yang khilaf, semua sama-sama mengingati dan luruskan karena telah dibaca bersama hadits atau pengucapan ulama. Tetapi kewajiban luruskan kekeliruan ada dalam diri ayah.
Sisi paling sulit dari pendidikan di keluarga -dan ini ialah -yang paling efektif, jadi panutan untuk anak. Anak akan menyaksikan dan memperhatika apa yang disebutkan si ayah selaras ataukah tidak dengan sikapnya. Sikap kita dilihat oleh anak untuk jadi role mode. Jika tidak tidak baik ya seperti tersebut kelak beberapa anak kita. Semuanya yang telah kita sampaikan, memberlakukan dan penegakan ketentuan (law enforcement) akan percuma bila orangtua, khususnya ayah, tidak dapat memberikan baca selengkapnya keteladanan. Tetapi bila menjadi panutan, akan menggerakkan keberhasilan mendidik anak lebih efektif. Contoh yang salah, saat masuk waktu adzan, si ayah teriak, “Mari beberapa anak mengambil air wudhu terus shalat ya. Kelak Bapak nyusul, sedang repot kerja nih….” Dalam hati si anak pasti bertanya ayahnya serius atau mungkin tidak saat memerintahnya shalat.